TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA (SEJARAH EKONOMI INDONESIA)
Nama : Wuri Sri Rahayu
Kelas : 1EB14
NPM : 27215207
SEJARAH
EKONOMI INDONESIA
I.
Sejarah
Pra Kolonialisme
Yang
dimaksud dengan periode Pra-Kolonialisme adalah masa – masa berdirinya kerajaan
–kerajaan di wilayah Nusantara (sekitar abad ke – 5) ampai sebelum masa
masuknya penjajah yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik
di wilayah nusantara (sekitar abad k-15 sampai 17). Pada masa itu RI belum
berdiri. Daerah – daerah umumnya dipimpin oleh kerajaan – kerajaan.
Indonesia
terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar
benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan
Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia,
melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai
juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan
Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan
Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan
di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat
kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat
besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia
Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para
bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada
proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh
banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan
uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun
pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya
picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas,
karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam system perdagangan
Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus
diimbangi dengan ekspor atau Impor.logam mulia.
Kejayaan
suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya
pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaankerajaan di
Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber
dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang
cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara
keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan
perekonomian Indonesia.
Dengan
kata lain, system pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama
perekonomian adalah:
a) Pertanian,
umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa dan rempah–rempah di Maluku.
b) Eksplorasi
hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang, dll.
c) Perdagangan
besar antarpulau dan antarbangsa yang sangat mengandalkan jalur laut.
Kerajaan-kerajaan
besar yang pernah muncul dalam sejarah Inonesia diantaranya seperti Sriwijaya
(abad ke-8), Majapahit (abad ke 13-15) maupun Banten (abad ke 17-18) merupakan
kerajaan –kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi diatas.
II.
Sistem
Monopoli VOC
Kongsi
Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie
atau VOC) yang didirikan pada
tanggal 20 Maret
1602 adalah persekutuan dagang asal Belanda
yang memiliki monopoli
untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur
karena ada pula VWC yang merupakan persekutuan dagang
untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia
sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah persekutuan
badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara
dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh
memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa
dikatakan VOC adalah negara dalam negara.
VOC memiliki enam bagian (Kamers) di Amsterdam,
Middelburg
(untuk Zeeland),
Enkhuizen,
Delft,
Hoorn,
dan Rotterdam.
Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers
menyumbangkan delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang
mereka bayarkan; delegasi Amsterdam berjumlah delapan.
Di kalangan orang Indonesia VOC
memiliki sebutan populer Kompeni
atau Kumpeni. Istilah ini
diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam
bahasa Belanda. Tetapi rakyat Nusantara lebih mengenal Kompeni sebagai tentara
Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat Nusantara yang sama
seperti tentara Belanda.
Tujuan utama VOC adalah
mempertahankan monopolinya
terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di
kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah,
dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para
penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda
terus menjual biji pala kepada pedagang
Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan
kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau
budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik
internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang
melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
1)
Monopoli VOC di Indonesia
Hasil pelayaran bangsa Belanda pada mulanya hanya mendatangkan kerugian,
karena diantara para pedagang mereka sendiri senantiasa satu sama lain saling
bersaing dan hanya bertujuan untuk mencari untung masing-masing. Pemerintah
Belanda segera turun tangan dan membasmi segala pertentangan atau perebutan
yang terjadi dengan jalan membentuk suatu persatuan atau penggabungan diantara
kongsi dagang yang ada. Demikian pada tahun 1602 berdirilah di negeri Belanda
persatuan kongsi dagang yang diberi nama V.O.C singkatan dari Verenigde Oost
Indische Compagnie. Persatuan kongsi tersebut dari pemerintah Belanda
memperoleh berbagai hak seperti boleh bertindak atas nama pemerintah Belanda
dengan segala kekuasaan seolah-olah bagaikan suatu pemerintahan yang
berdaulat penuh atas daerah-daerah yang dapat dikuasai antara Tanjung Harapan
dan Selat Magelhaen. Dalam hubungan ini V.O.C selaku kongsi dagang besar sudah
tentu akan menjalankan hak perniagaan tunggalnya (monopoli) di Indonesia yang
tiada lain dimaksudkan untuk mencegah timbulnya persaingan.
Adapun langkah-langkah untuk mencoba mempertahankan hak dagang tunggal itu
antara lain :
a)
Harus dapat mengusir orang-orang Portugis dari
perairan Indonesia.
b)
Harus dapat menguasai raja-raja di Indonesia.
Untuk dapat melaksanakan kedua maksud itu VOC mendirikan loji-loji seperti
di Banten, Jakarta dan Hitu (Ambon). Ketiga tempat itu letaknya sangat
strategis sehingga dapat dijadikan basis untuk menyusun kekuatan dalam
melaksanakan siasatnya. Karena itu pulalah maka pengaruh VOC atas penduduk
pribumi tampak sangat besar di kedua bagian dari kepulauan Indonesia yakni
di Jawa dan Maluku.
Aturan monopoli VOC :
a)
Rakyat
Maluku hanya boleh menanam rempah-rempah atas izin VOC.
b)
Luas wilayah
perkebunan dibatasi oleh VOC.
c)
Harga jual
ditentukan VOC.
d)
Tempat menanam rempah-rempah ditentukan VOC
Aturan monopoli VOC yang
paling terkenal pada masa itu adalah Verplichte Leverantie, yaitu penyerahan
wajib hasil panen cengkeh dan rempah-rempah lainnya kepada VOC dengan harga
yang telah ditentukan.
2)
Strategi VOC Dalam Menjalankan Monopoli
Dalam
menjalankan monopoli perdagangannya di Indonesia, ada beberapa strategi yang
dijalankan oleh VOC, diantaranya :
a)
Ekstirpasi
Ekstirpasi
adalah hak VOC untuk menebang pohon yang menghasilkan komoditas yang laku di
pasaran Eropa agar tidak terjadi over produksi. Ekstirpasi dilakukan oleh VOC sebagai langkah pencegahan agar hasil panen
tidak melimpah, sehingga harganya di pasaran Eropa menjadi murah. VOC juga
takut jika panen melimpah, maka rakyat Indonesia yang memiliki kelebihan hasil
panen akan menjualnya kepada pedagang lain bukan kepada VOC. Jika hal ini
terjadi, maka yang menjual rempah-rempah asal Indonesia di Eropa bukan hanya
VOC, sehingga akan terjadi persaingan harga antara VOC dengan pedagang dari
Negara lain. Hak ekstirpasi sangat merugikan petani Indonesia, karena
pohon-pohon yang sudah mereka tanam dan sudah mengeluarkan biaya dalam
penanaman serta perawatannya, ketika ditebang oleh VOC tidak diberikan ganti
rugi.
b)
Pelayaran
Hongi
Pelayaran Hongi adalah misi pelayaran VOC yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para
pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan
Belanda.
Pelayaran Hongi dilakukan oleh
VOC untuk mengawasi penanaman cengkeh di Ambon, hal ini juga dilakukan agar
cengkeh tidak ditanam di daerah lain. Pada masa itu, satu keluarga di Ambon
hanya boleh menanam 10 batang pohon cengkeh. Aturan ini ditetapkan oleh VOC,
karena harga cengkeh yang sangat tinggi pada saat itu yang disebabkan karena
langkanya cengkeh di pasaran Eropa.
Jadi VOC ingin tetap
mempertahankan kelanggkaan cengkeh, agar harganya tetap tinggi. Pelayaran Hongi
juga dilakukan oleh VOC untuk menghabisi para pesaingnya, demi menghindari
adanya perdagangan gelap antara petani Indonesia dengan pedagang Eropa lainnya.
Para pe dagang Inggris dan Portugis, menjadi sasaran utama VOC, selain juga
para warga pribumi yang menentang kebijakan ini turut menjadi korban.
3)
Dampak
Kebijakan VOC Terhadap Perekonomian Indonesia
Kehadiran VOC membawa dampak
bagi perekonomian dan perdagangan di Indonesia, diantaranya :
a.
Tumbuhnya
kota-kota dagang seperti Banten, Batavia, dan Padang.
b.
Eksploitasi
kekayaan alam yang berlebihan.
c.
Hancurnya
pusat-pusat dan jalur-jalur perdagangan kerajaan Islam di Nusantara.
d.
Tumbuhnya
perkebunan-perkebunan di Indonesia
Selain itu,
kebijakan-kebijakan VOC juga berpengaruh bagi rakyat Indonesia. Dimana pada
saat itu, rakyat Indonesia benar-benar mengalami penderitaan. Tidak ada yang
kaya, mereka yang punya tanah banyak pun miskin, dikarenakan adanya pembatasan
dalam penanaman pohon serta rendahnya harga yang ditetapkan VOC. Tidak hanya
rakyat, bahkan para raja pun juga tidak bernasib lebih baik. Hal ini
dikarenakan mereka digaji dan dikendalikan oleh VOC, sehingga wibawa raja tidak
ada sama sekali. Selain monopoli, VOC juga menerapkan contingenten. Contingenten
atau penyerahan wajib hasil bumi kepada VOC, juga sangat memberatkan rakyat.
Karena hasil bumi yang wajib diserahkan adalah beras yang merupakan makanan
utama orang Indonesia, serta kayu yang merupakan bahan utama dalam pembuatan
rumah. Beras yang didapat dari rakyat Indonesia, digunakan untuk ember makan
kepada para tentaranya yang sebagian direkrut dari orang pribumi. Sedangkan
kayu, digunakan untuk membangun rumah dan juga benteng.
VOC benar-benar
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, hal ini dikarenakan sumber utama
pendapatan mereka adalah dengan menjual rempah-rempah serta komoditi lainnya
yang berasal dari Indonesia. VOC benar-benar menggantungkan keadaan
perusahaannya kepada para petani dan hasil panen rempah-rempah di Indonesia.
Hal ini dikarenakan komoditi utama yang diperdagangkan oleh VOC yaitu kain,
tidak laku di Indonesia. Kain yang dijual VOC, tidak mampu dibei oleh rakyat
Indonesia, karena kemiskinan yang dialami oleh rakyat Indonesia, sehingga daya
beli mereka rendah.
III.
Sistem
Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), merupakan peraturan yang
dikeluarkan Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mengharuskan setiap desa
menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku dipasar ekspor,
khususnya tebu, tarum (nila) dan kopi. Hasil tanaman ini nantinya harus dijual
kepada pemerintah belanda dengan harga yang telah ditetapkan. Sedangkan
Penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja selama 75 hari setiap tahun
(20% dari 365 Hari) pada perkebunan milik pemerintah belanda, hal tersebut
menjadi semacam pengganti pajak bagi rakyat.
Namun pada
kenyataannya peraturan Sistem
Tanam Paksa (Tanam
Paksa) bisa dikatakan tidak sesuai karena pada prakteknya
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman yang laku ekspor dan
hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Kolonial. Tanah yang digunakan untuk
praktik Tanam Paksa pun masih dikenakan pajak (seharusnya bebas
pajak). Sedang Warga yang tidak mempunyai lahan pertanian harus bekerja selama
setahun penuh (seharusnya hanya 75 hari) di lahan pertanian Belanda.
a. Sejarah dan Latar Belakang Tanam Paksa
Pada tahun
1830 saat pemerintah belanda hampir bangkrut setelah terlibat Perang Diponegoro
(1825-1830), kemudian Gubernur
Jenderal Judo mendapat izin untuk menjalankan CultuurStelsel (sistem
Tanam Paksa) dengan tujuan utama untuk menutup defisit anggaran pemerintah
penjajahan dan mengisi kas pemerintahan jajahan yang saat itu kosong.
Untuk
menyelamatkan Negeri Belanda dari kebrangkrutan, kemudian Johanes van den Bosch
diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok mencari dana
semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara yang kosong, membiayai perang serta
membayar hutang. Untuk mnjalankan tugas yang berat tersebut, Gubernur Jenderal Van den Bosch memfokuskan
kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Awal adanya
Sistem tanam paksa karena pemerintal kolonial beranggapan bahwa desa desa di
Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah kolonial, yang seharusnya
diperhitungkan (membayar) senilai 40% dari hasil panen utama desa. kemudian Van
den Bosch menginginkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami
komoditi yang laku di pasar ekspor Eropa (tebu, nila dan kopi). Penduduk
kemudian wajibkan untuk menggunakan sebagian tanah pertaniannya (minimal 20%
atau seperlima luas) dan menyisihkan sebagian hari kerja (75 hari dalam
setahun) untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan
menjalankan tanam paksa, Pemerintah Kolonial beranggapan desa akan mampu
melunasi hutang pajak tanahnya. Seandainya pendapatan desa dari penjualan
komoditas ekspor itu lebih besar dari pajak tanah yang harus dibayar, desa akan
mendapat kelebihannya. namun Jika kurang, desa harus membayar kekurangannya.
Oleh karena
itu, Van den Bosch mengerahkan rakyat jajahannya untuk melakukan
penanaman tanaman yang hasilnya dapat laku di pasaran ekspor. Berikut Sistem
yang disusun Van den Bosch Setibanya di Indonesia (1830).
·
Sistem tanam bebas harus dirubah menjadi tanam wajib
dengan jenis tanaman yang telah ditentukan oleh pemerintah.
·
Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena
pemasukannya sedikit serta pelaksanaannya yang sulit.
·
Pajak terhadap tanah harus dibayar dengan menyerahkan
sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah kolonial.
Tanam paksa
sendiri diterapkan secara perlahan muali tahun 1830 sampai 1835. Menjelang
tahun 1840 sistem ini telah berjalan sepenuhnya di Jawa.
Bagi
pemerintah kolonial (Belanda), Sistem Tanam Paksa menuai sukses besar. Karena
antara 1831-1871 Batavia tidak hanya dapat membangun sendiri, tapi punya hasil
(laba) bersih 823 juta gulden untuk kas yang dikirim ke Kerajaan Belanda.
Menurut
informasi dari Wikipedia, Umumnya 30% anggaran belanja Kerajaan Belanda berasal
dari kiriman Batavia. Bahkan Pada tahun 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda
didapat dari Oost Indische (Hindia Belanda). Pada saat itu Batavia menjadi
sumber modal Kerajaan Belanda untuk membiayaai proyek-proyeknya. Misalnya,
untuk membiayai kereta api di Belanda yang saat itu serba mewah.
Sistem tanam
paksa yang kejam ini, akhirnya dihapus pada tahun 1870 setelah memperoleh
protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, meskipun pada kenyataannya
Sistem Tanam Paksa untuk tanaman kopi di luar Jawa masih berjalan hingga tahun
1915. Program tersebut (Sistem Tanam Paksa) dijalankan dengan nama sistem sewa
tanah dalam UU Agraria 1870.
b. Aturan dan Isi Tanam Paksa
Aturan dan
ISi Tanam Paksa - Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dilaksanakan oleh
Gubernur Jenderal Van den Bosch pada dasarnya adalah gabungan dari sistem pajak
tanah (Raffles) dan sistem tanam wajib (VOC). berikut Isi Tanam Paksa:
·
Setiap rakyat Indonesia yang punya tanah diminta
menyediakan tanah pertanian yang digunakan untuk cultuurstelsel (Tanam Paksa)
yang luasnya tidak lebi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami
jenis-jenis tanaman yang laku di pasar ekspor.
·
Waktu untuk menanam Sistem Tanam Paksa tidak
boleh lebih dari waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
·
Tanah yang disediakan terhindar (bebas) dari
pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
·
Rakyat indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian
bisa menggantinya dengan bekerja di perkebunan, pengangkutan atau di
pabrik-pabrik milik pemerintah kolonial selama seperlima tahun
atau 66 hari.
·
Hasil tanaman harus diberikan kepada pemerintah
Koloni. Apabila harganya melebihi kewajiban pembayaran pajak maka kelebihannya
harga akan dikembalikan kepada petani.
·
Penyerahan teknik pelaksanaan aturan Sistem Tanam
Paksa kepada kepala desa
·
Kegagalan atau Kerusakan sebagai akibat gagal panen
yang bukan karena kesalahan dari petani seperti karena terserang hama
atau bencana alam, akan di tanggung pemerintah Kolonial.
c. Dampak dan Akibat Sistem Tanam Paksa
Dampak dan
Akibat Tanam Paksa - Pelaksanaan tanam paksa banyak menyimpang dari aturan
sebenarnya dan memiliki kecenderungan untuk melakukan eskploitasi agraris
semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, Tanam Paksa menimbulkan akibat yang
bertolak belakang bagi Bangsa Indonesia dan Belanda, diantaranya adalah sebagai
berikut.
a.
Bagi Indonesia
·
Beban rakyat menjadi sangat berat karena harus
menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi
serta membayar pajak .
·
Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan
kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
·
Timbulnya wabah penyakit dan terjadi banyak
kelaparan di mana-mana.
·
Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
·
Rakyat Indonesia mengenal tanaman dengan kualitas
ekspor.
·
Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam berbagai
jenis tanaman baru.
b.
Bagi Belanda
·
Kas Negeri Belanda yang semula kosong menjadi dapat
terpenuhi.
·
Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
(Surplus).
·
Hutang-hutang Belanda terlunasi.
·
Perdagangan berkembang pesat.
·
Amsterdam sukses dibangun menjadi kota pusat
perdagangan dunia.
IV.
Sistem
Ekonomi Kapitalis Liberal
Sistem
ekonomi liberal kapitalis adalah sitem ekonomi yang aset-aset produktif dan
faktor-faktor produksinya sebagian besar dimiliki oleh sektor individu/swasta.
Sementara tujuan utama kegiatan produksi adalah menjual untuk memperoleh laba.
Sistem
perekonomian/tata ekonomi liberal kapitalis merupakan sistem perekonomian yang
memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan
perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan
lain sebagainya.
Dalam
perekonomian liberal kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri
sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk
memperoleh laba sebesar- besarnya dan bebas melakukan kompetisi untuk
memenangkan persaingan bebas.
1.
Ciri-ciri.
Ciri-ciri
dari sistem ekonomi liberal kapitalis antara lain :
i.
Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki
sumber-sumber produksi.
ii.
Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung
dalam kegiatan ekonomi.
iii.
Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu
golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
iv.
Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam
mencari keuntungan.
v.
Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
vi.
Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonom.
vii.
Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan
bermutu tinggi.
2.
Keuntungan dan
Kelemahan.
Sistem ekonomi liberal kapitalis selain memilki keuntungan juga mempunyai
kelemahan, antara lain :
Ø Keuntungan :
1.
Menumbuhkan inisiatif dan kerasi masyarakat dalam
kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari
pemerintah.
2.
Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber
daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam
perekonomian.
3.
Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
4.
Mengahsilkan barang-barang bermutu tinggi, karena
adanya persaingan semangat antar masyarakat.
5.
Efisiensi dan efektifitas tinggi, karena setiap
tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.
Ø Kelemahan :
a.
Terjadinya
persaingan bebas yang tidak sehat.
b.
Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin
miskin.
c.
Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
d.
Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena
kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
e.
Pemerataan
pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.
V.
Era
Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942
dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan
pada Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan
persediaan bahan bakar pesawat gagal pada Juni 1941,
dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Pada
bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan
Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda
yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pengalaman dari penguasaan
Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan
status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting
dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan
seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan
campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk persiapan
kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau 独立準備調査会 (Dokuritsu junbi chōsa-kai?) dalam bahasa Jepang. Badan
ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar
negara dan digantikan oleh PPKI yang bertugas menyiapkan
kemerdekaan.
VI.
Cita-cita Ekonomi Indonesia
Sudah 68 tahun bangsa Indonesia merdeka. Apakah tujuan dan cita-cita
kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan yang menebus kemerdekaan dengan
keringat, air mata, darah, dan bahkan jiwa raganya sudah tercapai?
Apakah kita masih dalam jalur dalam meniti
cita-cita perjuangan mereka? Ataukah kita telah tega mengkhianati perjuangan
dan cita-cita perjuangan mereka dengan menyelewengkan amanat dan kepercayaan
yang diberikan? Peringatan hari kemerdekaan Indonesia sudah selayaknya
dirayakan dengan sukacita.
Rakyat
Indonesia sudah terbiasa mengisinya dengan berbagai perlombaan dan hiburan
serta pesta rakyat yang mengundang kegembiraan dan keceriaan, karena
kemerdekaan itu memang merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah SWT untuk
bangsa Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan para pejabat dan
penyelenggara negara.
Apa
sebenarnya tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia? Jika kita buka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada bagian Pembukaan
alinea IV disebutkan bahwa tujuan kemerdekaan dan dibentuknya Negara Republik
Indonesia ada empat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bung Hatta
pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya
dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia
Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat.
“Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk
sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung
Hatta di New York, AS, tahun 1960).
Karena itu,
para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan
apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita
perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan
feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Artinya,
dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak
menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan
kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat.
Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.
Supaya
cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka
para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita:
Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama
bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam pasal
33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama
itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat
aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi
terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni
pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme).
Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi,
termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Sayang,
sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur),
proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal
33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh
kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu,
pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara
langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya,
cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas.
Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya,
yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah,
ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan
ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik.
Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan
jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara
lain.
VII.
Ekonomi
Indonesia Setiap Periode Pemerintahan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi
1.
Pemerintahan Orde Lama
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, banyak
sudah tokok-tokoh negara saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang
tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya
mencetuskan ide, bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai dengan
cita-cita tolong menolong adalah koperasi, namun bukan berarti semua kegiatan
ekonomi harus dilakukan secara koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi Indonesia saat itu,
Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun 1949, menegaskan
bahwa yang dicita-citakan adalah semacam ekonomi campuran. Namun demikian dalam
proses perkembangan berikutnya disepakatilah suatu bentuk ekonomi yang baru,
dinamakan sebagai Sistem Ekonomi Pancasila, yang didalamnya
mengandung unsur pentinga yang disebut Demokrasi Ekonomi.
Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan yang akan
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di Indonesia, maka
menurut UUD’45, sistem perekonomian Indonesia tercermin dalam pasal-pasal 23,
27, 33. Dan 34.
Sistem perekonomian di Indonesia sangat menentang
adanya sistem Free Fight Liberalism, Etatisme (Ekonomi Komando) dan
Monopoli, karena sistem ini memang tidak sesuai dengan sitem ekonomi yang
dianut Indonesia (bertentangan).
Free fight liberalism ini dianggap tidak cocok dengan
kebudayaan Indonesia dan berlawanan dengan semangat gotong-royong yang
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33, dan dapat mengakibatkan semakin
besarnya jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin.
Meskipun pada awal perkembangan perekonomian Indonesia
menganut sistem ekonomi pancasila, ekonomi Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’,
namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah
terjadi di Indonesia. Awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan
bukti sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian
juga dengan sistem etatisme, pernah juga memberi corak perekonomian di
tahun 1960-an sampai dengan pada masa orde baru.
2.
Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagai masa pemerintahan
Presiden Soeharto. Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama yang di pimpin
oleh Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini
dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu,
kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September1966 mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat
tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi -
dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis
Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan
dengan menggelar Mahkamah Militer
Luar Biasa untuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian
dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini,
dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan
1980-an.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis
keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia),
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan
komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin
para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan
setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih
sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah
adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia
terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus
memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya
kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan
utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi
besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu
terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti
akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang
Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat
mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan
Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan
mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga
akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU
Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri
menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998
dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan
"Era Reformasi".
3.
Pemerintahan Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai
Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan
rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak
dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya
kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses
pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap
media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden
BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik
dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari
setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang.
Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru
dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan
tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa
diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan
meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa
dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer
yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat
penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
VIII.
REFERENSI
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny